Beranda | Artikel
Tata Cara Shalat Ied Di Rumah
Rabu, 13 Mei 2020

Tata Cara Shalat ‘Ied Di Rumah

Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc, MA
Download PDF

Sebelum Shalat ‘Ied

Pertama : Mandi terlebih dahulu. Disukai untuk mandi setelah  terbit fajar karena hari íed dimulai sejak terbit fajar, namun sebagian ulama membolehkan untuk mandi sebelum fajar karena tujuannya adalah bersih-bersih, dan hal itu sudah tercapai meski mandi sebelum fajar([1]).  Meskipun tidak ada dalil khusus yang shahih tentang hal ini akan tetapi para ulama mengqiaskan dengan shalat jum’at, padahal shalat ‘ied adalah perkumpulan yang lebih besar dan agung daripada shalat jum’at, demikian juga hari raya ‘ied lebih agung dari hari raya pekanan hari jum’at. Oleh karenanya para ahli fikih sepakat akan dianjurkannya mandi untuk shalat ‘ied. Dan telah datang dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau mandi untuk shalat ‘ied([2]).

Kedua : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. Anas bin Malik berkata :

«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ…وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا»

“Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam tidaklah berangkat (dari rumah) pada hari íedul Fithr hingga beliau makan beberapa butir kurma…dan beliau memakannya dalam jumlah ganjil” ([3])

Disunnahkan untuk memakan kurma sebelum berangkat untuk menunjukan bahwa hari tersebut sudah tidak berpuasa lagi, dan dianjurkan untuk segera menunjukan ketaatan kepada Allah yang memerintahkan untuk berbuka pada hari itu. Selain itu disunnahkan makan kurma karena kebiasaan Nabi shallallahu álaihi wasallam berbuka puasa dengan kurma([4]). Jika tidak ada kurma maka selain kurma juga tidak mengapa, dan sebagian ulama memandang makanan tersebut yang manis-manis([5]).

Berkaitan dengan Shalat ‘Ied di Rumah

Pertama : Jumhur úlama berpendapat disyariátkannya shalat íed bagi wanita, budak, orang sakit, dan musafir meskipun sendirian dan dirumah([6]).

Al-Imam Al-Bukhari berkata :

بَابٌ: إِذَا فَاتَهُ العِيدُ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ، وَكَذَلِكَ النِّسَاءُ، وَمَنْ كَانَ فِي البُيُوتِ وَالقُرَى، لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ» وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ المِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ وَقَالَ عِكْرِمَةُ: «أَهْلُ السَّوَادِ يَجْتَمِعُونَ فِي العِيدِ، يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يَصْنَعُ الإِمَامُ» وَقَالَ عَطَاءٌ: «إِذَا فَاتَهُ العِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ»

“Bab : Jika seseorang terluput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaát, demikian juga para wanita, dan orang-orang yang ada di rumah-rumah dan juga di kampung-kampung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam, “Ini adalah adalah íed (hari raya) kita kaum muslimin” ([7]). Anas bin Malik memerintahkan budaknya Ibnu Abi Útbah di Az-Zawiyah([8]), maka beliaupun mengumpulkan keluarganya dan anak-anaknya dan shalat seperti shalat orang-orang di kota dan sesuai dengan takbir mereka” ([9]). Íkrimah berkata, “Penduduk kampung (demikian juga para petani) berkumpun tatkala íed, lalu mereka shalat dua rakaát sebagaimana yang dilakukan oleh penguasa (yang shalat íed di kota)”. Áthoo berkata, “Jika seseorang luput dari shalat íed maka ia shalat dua rakaát” ([10])

Atsar Anas bin Malik di atas, dan juga atsar-atsar para tabiín dijadikan dalil oleh Jumhur (mayoritas) ulama bahwasanya barang siapa yang terluput dari shalat íed, maka hendaknya ia mengqodho’nya. Yaitu ia mengqodho’ nya dengan shalat dua rakaát dan bertakbir sebagaimana shalat íed biasanya.

Kedua : Waktu pelaksanaan shalat íed adalah setelah hilang waktu terlarang shalat sunnah, yaitu kurang lebih 15 menit setelah sunrise (matahari terbit), yaitu awal waktu shalat dhuha ketika warna merah di langit telah hilang. Waktu shalat íed berakhir sebelum waktu terlarang shalat sunnah berikutnya yaitu menjelang waktu dzuhur. Ini adalah hal yang disepakati oleh para ulama([11]).

Ketiga : Takbir 7 kali di rakaát pertama dan 5 takbir pada rakaát kedua menurut mayoritas ulama (kecuali madzhab Hanafi([12])). Hal ini berdasarkan hadits :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى، وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، وَلَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا، وَلَا بَعْدَهَا

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam bertakbir ketika íed 12 kali takbir, 7 kali di rakaát pertama dan 5 kali di rakaát kedua” ([13])

Dan juga atsar dari Abu Hurairah. Naafi’ maula Ibnu Úmar berkata :

شَهِدْتُ الْأَضْحَى وَالْفِطْرَ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ. فَكَبَّرَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. وَفِي الآخِرَةِ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ

“Aku menghadiri shalat íed al-Adhaa dan íed al-Fithr bersama Abu Hurairah, maka beliau bertakbir di rakaát pertama 7 takbir sebelum al-qiroah (sebelum membaca al-Fatihah) dan di rakaát kedua beliau bertakbir 5 takbir sebelum al-qiroáh” ([14])

Untuk takbir pada rakaát kedua maka para ulama sepakat bahwa takbiratul intiqool (takbir perpindahan dari rukun yang satu ke rukun berikutnya, seperti dari berdiri ke ruku, atau dari sujud ke berdiri) tidak masuk hitungan. Adapun untuk 7 takbir pada rakaát pertama maka para ulama berselisih apakah takbiratul ihram termasuk dalam 7 takbir tersebut atau tidak termasuk hitungan?. Madzhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa takbir-takbir tersebut termasuk takbiratul ihram ([15]). Berbeda dengan madzhab syafií yang tidak memasukan takbiratul ihram dalam hitungan, sehingga menurut madzhab Syafi’i total takbir di raka’at pertama 8 takbir (1 takbiratul ihram ditambah 7 takbir zawaid([16])/tambahan([17]).

Keempat : Kapankah bertakbir dengan takbir zawaid?

Jumhur ulama (madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali) ([18]) berpendapat bahwa takbir zawaid tersebut dibaca setelah doa istiftah. Adapun madzhab Imam Maliki berpendapat bahwa di awal shalat langsung bertakbir dengan 7 takbir, baru setelah itu membaca istiftah([19]). Penulis lebih condong kepada pendapat Imam Malik, terlebih lagi Imam Malik (Imamnya kota Madinah) berdalil dengan atsar Abu Hurairah yang tinggal di Madinah sehingga Imam Malik berdalil praktik para penduduk Madinah tentang hal ini. Wallahu a’lam.

Kelima : Hendaknya ketujuh takbir tersebut dikerjakan berurutan namun diberi jeda sedikit agar bisa diikuti oleh makmum([20]). Namun para ulama berselisih apakah diantara takbir-takbir tersebut ada sesuatu yang dibaca?

Madzhab Maliki([21]) dan Hanafi([22]) berpendapat tidak ada yang dibaca karena tidak ada dalil yang menunjukan akan hal tersebut dan inilah pendapat yang lebih kuat. Sementara madzhab Syafií([23]) dan Hanbali([24]) berpendapat ada yang dibaca yaitu tahlil, takbir, dan tahmid([25])

Keenam : Mengangkat tangan setiap kali bertakbir, dan ini pendapat mayoritas ulama([26]). Tidak ada hadits yang sharih (jelas) tentang hal ini, akan tetapi sebagian ulama berdalil dengan qias terhadap atsar Ibnu Umar yang ketika shalat janazah beliau mengangkat setiap kali takbir. Sisi pengqiasannya yaitu sama-sama takbir yang berulang dalam posisi berdiri.

Ketujuh : Jika lupa takbir zawaid dan baru ingat ketika sedang membaca al-Fatihah?

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak perlu sujud sahwi jika meninggalkan takbir zawaid, apakah dengan sengaja ataukah karena lupa([27]). Jika ingatnya ketika sedang membaca al-Fatihah maka apa yang dilakukan?.Sebaiknya ia melanjutkan bacaannya dan tidak perlu mengulangi takbir zawaidnya, hal ini karena takbir tersebut hukumnya sunnah([28])

Kedelapan : Setelah membaca al-Fatihah maka disunnahkan membaca pada rakaat pertama surah al-A’la dan pada rakaát kedua surah al-Ghosyiah([29]), atau rakaát pertama membaca surah Qoof dan pada rakaát kedua surah al-Qomar([30])

Kesembilan : Tidak perlu khutbah setelah shalat. ([31])

Ceger, Jakarta Timur, 19 Ramadhan 1441 H (12 Mei 2020)

_______________________________

Footnote:

([1]) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/275

([2]) Lihat al-Majmu’, An-Nawawi 5/7. An-Nawawi menjelaskan telah datang hadits-hadits bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam mandi untuk shalat íed akan tetapi sanadnya lemah.

([3]) HR al-Bukhari no 953

([4]) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/275

([5]) Lihat Hasyiah Ibni Ábidin al-Hanafi 2/168

([6]) Madzhab Maliki tidak mengapa untuk shalat sendirian atau berjamaáh jika tidak hadir di lapangan untuk shalat íed. Dan wanita yang tidak menghadiri shalat íed maka dianjurkan untuk shalat íed di rumah (Lihat At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/580)

([7]) Maksud al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits ini adalah bahwasanya íed adalah hari raya semua kaum muslimin, karenanya mereka semua berhak untuk beríed sehingga mereka semua (baik wanita, budak, dll) semuanya juga berhak untuk shalat íed (lihat Fathul Baari 2/475)

([8]) Az-Zawiyah adalah nama lokasi dekat Bashroh, di situ dahulu ada qoshr (rumah) nya Anas bin Malik (lihat Fathul Baari 2/475)

([9]) Atsar ini disambung oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf (no 5803). Maksudnya yaitu Anas mengumpulkan keluarganya dan memerintahkan budaknya untuk menjadi imam, dan mereka shalat dua rakaát sebagaimana shalatnya imam kaum muslimin.

([10]) Shahih al-Bukhari 2/22-23

([11]) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah  al-Hanbali 2/280, at-Taaj wa al-Ikliil, al-Mawwaaq al-Maliki 2/569, Hasyiah Ibni Ábidin al-Hanafi 2/171

([12]) Ada dua perbedaan mendasar Madzhab Hanafi dibandingkan madzhab jumhur ulama :

Pertama : Madzhab Hanafi berpendapat baik rakaát pertama maupun rakaát kedua bertakbir 3 kali takbir zawaid (takbir tambahan, selain takbiratul ihram dan selain takbir al-intiqool), karena inilah yang dipraktikan oleh Ibnu Masúd. (Lihat Hasyiah Ibni Ábidin 2/172)

Kedua : Pada rakaát kedua tidak bertakbir dulu, tapi takbil al-intiqol lalu membaca al-Fatihah dan surah, lalu baru bertakbir 3 kali (dengan takbir zawaid) lalu takbir yang ke 4 untuk ruku’. (Lihat Badaaí as-Shanaaí, al-Kasani 1/277)

([13]) HR Abu Daud no 1151, Ibnu Majah no 1278, Ahmad no 6688, dan dihasankan oleh Al-Albani di Shahih Ibnu Majah dan juga oleh Ahmad Syakir dan para pentahqiq al-Musnad (cetakan ar-Risalah)

([14]) Atsar riwayat Malik di al-Muwattho’ no 619 dengan sanad yang shahih, yaitu dari Malik, dari Nafi’

([15]) Madzhab Maliki : 7 takbir (termasuk di dalamnya takbiratul ihram) adapun 5 takbir tidak termasuk takbir al-intiqol (Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, al-Khurosyi 2/100 dan At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/572)

Madzhab Hanbali : ada beberapa riwayat, ada yang mengatakan bahwa 7 takbir terlebih dahulu lalu baru membaca doa istiftah, ada juga yang mengatakan setelah istiftah baru bertakbir 6 kali, dan ada yang mengatakan setelah taáwwudz baru bertakbir 6 kali.  Ada yang berpendapat 4 takbir setelah istiftah atau setelah taáwwudz. Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad memilih diantara pendapat-pendapat tersebut. Dalam hal pendapat madzhab Hambali mirip dengan pendapat Madzhab Maliki yang menganggap takbiratul ihram termasuk dalam 7 takbir. (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi 2/427)

([16]) Yang dimaksud dengan التَّكْبِيْرَاتُ الزَّوَائِدُ “Takbir-takbir tambahan” adalah takbir-takbir selain takbiratul ihram dan selain takbir al-intiqool (takbir perpindahan dari rukun shalat ke rukun berikutnya)

([17]) Lihat penjelasan imam Asy-Syafi’i di al-Umm 1/270

Dalil keduanya adalah sama akan tetapi berbeda dalam memahami dalil. Imam Malik memahami atsar Abu Hurairah bahwa takbiratul ihram termasuk dari 7 takbir dengan amal (praktik) yang beliau dapatkan dari penduduk kota Madinah. (Lihat Bidayatul Mujtahid 1/228). Adapun menurut Asy-Syafi’i bahwa para perawi yang meriwayatkan tentang jumlah takbir shalat ‘ied mereka sedang menghikayatkan tentang takbir yang berbeda dari shalat-shalat biasanya, sehingga tidak termasuk takbiratul ihram (karena ini ada pada semua shalat) sebagaimana tidak termasuk takbiratul intiqol pada raka’at kedua (karena ini ada pada semua shalat) (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/272).

([18]) Menurut imam Asy-Syafi’i setelah takbiratul ihram membaca terlebih dahulu doa istiftah lalu setelah itu baru bertakbir dengan 7 takbir zawaid, baru  membaca ta’awwudz dan al-Fatihah (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/270).  Demikian pula pendapat madzhab Hanbali bahwa takbir zawaid dibaca setelah doa istiftah, dan sebagian mereka berpendapat setelah istiftah dan ta’awwudz. bahwasanya tidak langsung membaca takbir zawaid (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi 2/427), dan inilah (takbir zawaid dibaca setelah istiftah dan ta’awwudz) yang dipilih oleh madzhab Hanafi (Badai’ as-Shonaai’, al-Kasani 1/277)

([19]) Lihat at-Taaj wal ikliil 2/570

([20]) Sebagaimana yang dijelaskan oleh madzhab Maliki (Lihat At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq al-Maliki 2/572). Adapun madzhab Hanafi berpendapat jeda tersebut seukuran membaca 3 tasbih (Lihat Badaai’ as-Shonaa’i, al-Kasani 1/277)

([21]) Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, al-Khurosyi 2/100

([22]) Lihat Badai’ as-Shonai’ 1/277

([23]) Lihat al-Umm, asy-Syafií 1/270 dan al-Majmu’, An-Nawawi 5/21

([24]) Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/283

([25]) seperti membaca :

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهُ وَسَلَّمَ

Atau membaca dzikir-dzikir yang lainnya. (Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/283)

([26]) Lihat : Badaí as-Shonaí, al-Kasani al-Hanafi 1/277, al-Majmu’, an-Nawawi asy-Syafií 5/21, al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hanbali 2/283. Adapun Imam Malik berpendapat tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika takbir zawaid, karena menurut beliau ini seperti takbir di tengah-tengah shalat seperti takbir hendak sujud.

([27]) Ini adalah pendapat madzhab Asy-Syafií (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/272) dan madzhab Hanbali (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi 2/431).

Adapun madzhab Maliki maka disyariátkan sujud sahwi dengan perincian berikut: Jika lupa bertakbir 7 kali, maka (1) Jika ingat setelah baca dan sebelum ruku’, maka kembali bertakbir lalu membaca dan sujud sahwi setelah salam, (2) jika ingat setelah ruku’ maka ia lanjutkan shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam.

Namun ini hanya berlaku bagi imam atau yang shalat sendirian, adapun makmum maka tidak perlu sujud sahwi jika lupa (Lihat Syarh Mukhtashor Kholil, Al-Khurosyi 2/101 dan At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/572)

([28]) Jika seseorang sudah terlanjur baca al-Fatihah lalu ingat bahwa ia belum bertakbir zawaid maka tidak mengapa jika ia memutuskan bacaannya lalu kembali bertakbir lagi lalu membaca ulang, namun tidak perlu sujud sahwi. Jika dia lanjutkan bacaannya dan tidak kembali bertakbir juga tidak mengapa dan tidak perlu sujud sahwi (Lihat al-Umm, Asy-Syafi’i 1/272).

([29]) an-Nu’man bin Basyiir berkata :

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam dalam shalat íed al-Fithr, íed al-Adha, dan juga shalat Jumát membaca بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى dan هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ “ (HR Muslim no no 878)

([30]) Abu Waqid al-Laitsi berkata :

كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ، وَاقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ

“Nabi shallallahu álaihi wasallam pada shalat íedul Fithr dan íedul Adha membaca surah Qof dan surah al-Qomar” (HR Muslim no 891)

([31]) Lihat Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah 8/306, hal ini karena ketika Anas bin Malik shalat íed di rumah maka tanpa disertai khutbah. Namun sebagian ulama memandang jika memungkinkan maka boleh untuk berkhutbah. Ibnu Qosim (Maliki) berkata tentang penduduk pedalaman yang tidak wajib menghadiri shalat íed,

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَجْتَمِعُوا وَيُصَلُّوا صَلَاةً بِغَيْرِ خُطْبَةٍ، وَإِنْ خَطَبَ فَحَسَنٌ

“Tidak mengapa mereka berkumpul dan shalat (íed) tanpa khutbah, dan jika khutbah maka bagus” (Lihat At-Taaj wal Ikliil, al-Mawwaaq 2/580)

Demikian juga pendapat madzhab hambali bahwa penduduk pedalaman shalat 4 rakaát (jika tidak ikut shalat íed) kecuali ada seseorang yang berkhutbah maka mereka shalat 2 rakaát (Lihat al-Inshoof, al-Mardawi 2/428).


Artikel asli: https://firanda.com/4002-tata-cara-shalat-ied-di-rumah.html